4 Dampak Buruk Menjadi Seorang Workaholic

Dampak Buruk Menjadi Seorang Workaholic

 Artikel ini juga dapat dibaca di  beritagar-logo.

Perusahaan mana yang tak mau punya karyawan pekerja keras? Kerja tim jadi lebih lancar, target selalu tercapai, campur tangan atasan pun tidak terlalu diperlukan karena inisiatif para karyawan yang tinggi. Sayangnya, ada orang-orang yang menyalahartikan cara kerja mereka sebagai ciri pekerja keras alias hard worker, padahal sebenarnya mereka sudah tergolong workaholic.

Hard worker dan workaholic merupakan dua tipe pekerja yang berbeda. Keberadaan workaholic memang kerap tampak sebagai keuntungan bagi perusahaan. Padahal, ada dampak buruk yang mengintai seorang workaholic, yang tentunya juga dapat merugikan perusahaan.

Berikut ini empat dampak buruk sekaligus alasan untuk tidak menjadi seorang workaholic:

1. Kurang bersosialisasi

Kehidupan yang tidak seimbang dan lebih banyak dihabiskan untuk urusan pekerjaan, membuat seorang karyawan kurang bersosialisasi. Padahal, biar bagaimanapun manusia adalah makhluk sosial. Nah, bagaimana si workaholic bisa menjaga hubungan dengan teman-temannya, kalau pekerjaan selalu jadi alasan untuk melewatkan kesempatan bertemu serta menjalin dan menjaga relasi?

2. “Jauh” dari keluarga

Meskipun tak harus merantau, tapi prioritas si workaholic terhadap pekerjaan membuat ia kerap mengorbankan keluarganya sendiri. Lokasi kantornya mungkin cukup dekat, sehingga memungkinkan dia untuk tinggal di rumah. Namun, karena hampir setiap hari ia memprioritaskan pekerjaan dan tak segan untuk sering lembur, orang-orang terdekatnya pun kesulitan menghabiskan waktu dengannya. Sikap workaholic yang seperti ini juga tanpa ia sadari membuat keluarga dan kerabat dekatnya perlahan menjaga jarak darinya.

3. Tak punya hari libur

Sudah beruntung diberikan hak cuti dan waktu istirahat, si workaholic justru sering menyia-nyiakannya. Alih-alih memanfaatkan hak cutinya untuk refreshing, ia malah menghabiskan akhir pekan dan hari liburnya dengan tenggelam di tengah pekerjaan. Alhasil, dia tak pernah sempat merasakan nikmatnya berlibur atau sekadar bersantai di rumah dengan keluarga.

4. Kesehatan terganggu

Sekeras apapun seseorang memaksa tubuhnya untuk berfungsi maksimal, tetap saja kerja tubuh manusia ada batasnya. Seorang workaholic biasanya tak pernah kehabisan semangat untuk bekerja. Namun, karena itulah fokusnya teralihkan, sehingga dia tidak sadar ketika tubuhnya sudah terlalu lelah. Nah, kalau sudah jatuh sakit, pekerjaan pun jadi terbengkalai. Kalau hal ini sampai terjadi, bukan hanya si workaholic saja yang rugi, tapi juga perusahaan.

Sejumlah perusahaan masih menuntut karyawannya untuk bekerja melampaui jam kerja normal, dan menganggap hal itu lumrah. Karyawan dihadapkan pada beban kerja sehari-hari yang berlebihan, sehingga mereka mau tak mau harus bekerja hingga larut malam. Jika Anda bekerja di perusahaan seperti ini, maka kemungkinan besar Anda tak punya pilihan selain menjadi workaholic untuk mengikuti budaya tersebut. Tentunya keputusan ada di tangan Anda. Jika merasa tak sesuai dengan budaya perusahaan, Anda bisa mencari tempat kerja lain yang lebih manusiawi.

Lain halnya jika perusahaan tempat Anda bekerja sudah mengedepankan work-life balance, memberikan beban kerja sewajarnya kepada karyawan, dan menerapkan kebijakan lembur dengan kompensasi yang sebanding. Jika Anda merasa seperti tak punya kehidupan di luar pekerjaan, maka yang perlu menjadi perhatian adalah Anda sendiri. Kemungkinan besar Andalah yang “kecanduan” bekerja.

Sekarang coba Anda amati diri sendiri, dan tanyakan pula pada rekan-rekan kerja di kantor, apakah Anda menunjukkan ciri-ciri seorang workaholic? Jika ya, maka segera benahi kebiasaan bekerja Anda sebelum menyesal.

Pekerja keras yang sesungguhnya tak hanya berkomitmen dan berdedikasi terhadap pekerjaan, tapi juga tahu caranya menentukan prioritas, serta pandai mengelola waktu dengan baik.

Comments

comments