Artikel ini juga dapat dibaca di . |
Turnover karyawan adalah satu dari sekian banyak persoalan internal perusahaan yang menjadi mimpi buruk HRD. Jelas saja. Meski proses perekrutannya terlihat sederhana, namun mempertahankan karyawan bukanlah perkara mudah. Terutama jika perusahaan memasang standar tinggi untuk tenaga kerjanya. Alhasil, efek dari satu karyawan yang resign pun bisa jadi berkepanjangan.
Keluar masuknya karyawan di sebuah perusahaan dipicu oleh berbagai hal. Liz Ryan, CEO Human Workplace yang juga kontributor Forbes pernah menyebutkan bahwa turnover merupakan masalah yang terkait dengan kepemimpinan. Para manager pun tak dapat mengelak—mengingat beragam survei telah membuktikan bahwa sebagian besar karyawan meninggalkan perusahaannya karena atasan.
Bagaimana hal ini bisa terjadi?
Peran penting seorang atasan
Pencapaian seorang karyawan tak pernah lepas dari andil atasannya. Meski telah memiliki peran masing-masing, namun setiap langkah yang mereka ambil juga menjadi tanggung jawab sang atasan. Dialah yang memberi arahan dan bimbingan agar pekerjaan timnya tuntas tanpa hambatan, sehingga pantas jika ia berbangga hati ketika bawahannya menoreh prestasi di perusahaan.
Sayangnya, tak semua atasan mau berkaca pada diri sendiri ketika bawahannya resign. Mereka malah buru-buru mencari pembenaran tanpa jalan keluar yang tepat. Kalau saja ada sedikit usaha, misalnya saja dengan “mengintip” isi hati para karyawan mereka yang dituliskan di Jobplanet, perusahaan pasti bisa mencari solusi untuk menekan isu turnover ini.
“Manager sering acuh tak acuh. Dan hanya bisa ikut menekan tanpa pengarahan yang baik.” – Karyawan Sales Perusahaan Manufaktur
“perlakuan tidak adil dan atasan sekehendak hati dalam menyuruh karyawan, membuat karyawan tidak nyaman dalam bekerja” – Karyawan Marketing Anak Perusahaan BUMN
“atasan terlalu menjaga jarak dengan bawahan, bawahan seakan tidak diperhatikan sama sekali, pekerjaan mengharuskan ready 24/7” – Karyawan Desain Anak Perusahaan BUMN
Suasana kantor yang tidak kondusif seperti di atas dapat mendorong keinginan karyawan untuk resign. Sebenarnya hal ini bisa dicegah selama karyawan mengedepankan profesionalitas, serta mengesampingkan perasaan pribadinya. Akan tetapi, perlakuan atasan yang tidak kooperatif pun lama kelamaan akan merugikan perusahaan.
Meski demikian, tidak semua kesalahan layak dilimpahkan pada atasan. HRD juga harus bisa melakukan penilaian yang adil, dengan ikut menyoroti performa dan tingkah laku karyawan itu sendiri. Nah, exit interview bisa menjadi solusinya. Melalui wawancara terakhir ini, HRD dan para manager dapat mengungkap apa alasan sesungguhnya karyawan meninggalkan perusahaan.
Jika Anda seorang atasan, lakukanlah evaluasi rutin terhadap gaya kepemimpinan Anda. Misalnya, lewat sesi tatap muka dengan bawahan. Sementara jika Anda ada di posisi bawahan, ketahuilah bahwa ketidakcocokan dengan bos bukanlah alasan yang tepat untuk resign. Setidaknya hadapi dulu tantangan tersebut sebelum memutuskan untuk mencari perusahaan lain yang lebih baik.