Artikel ini juga dapat dibaca di . |
Wanita-wanita Indonesia semakin hari semakin menampakkan eksistensinya. Menurut hasil riset yang dilakukan Grant Thornton di tahun 2017, Indonesia menempati urutan kedua di dunia sebagai negara dengan proporsi tertinggi untuk karyawan wanita di level senior. Meski begitu, berbeda dengan Amerika Serikat dan Jepang di mana banyak wanita kariernya memilih untuk hidup melajang, jumlah wanita Indonesia berusia produktif yang menikah justru tetap tinggi.
Tak bisa dipungkiri, nilai-nilai budaya dan agama yang begitu melekat berpengaruh cukup besar bagi kehidupan masyarakat Indonesia. Peran pria sebagai pencari nafkah tunggal pun terkadang masih dianggap relevan di era modern ini. Memang, bukan hal yang buruk jika setelah menikah seorang wanita memilih untuk fokus mengurus keluarga. Hanya saja, sebelum memutuskan untuk meninggalkan pekerjaan, ada baiknya para wanita mempertimbangkan lima hal berikut ini:
1. Akan timbul rasa jenuh
Melepaskan karier yang sudah lama dibangun tentu tidak mudah bagi para wanita. Apalagi jika profesi yang digeluti merupakan passion-nya, atau bahkan dia sudah menduduki posisi senior. Di masa-masa awal pernikahan, hal tersebut mungkin tertutupi oleh kebahagiaan yang dilalui bersama pasangan. Namun, akan ada saatnya seorang istri yang dulunya pernah bekerja merasa “mati gaya” hingga jenuh dengan keseharian sebagai ibu rumah tangga.
Sesungguhnya dalam situasi tersebut, kreativitas seorang mantan karyawan sedang diuji. Sepandai apa dia memanfaatkan ilmu dan pengalaman yang dimiliki untuk mengobati rasa jenuhnya? Dia bisa saja mencari peluang berbisnis atau pekerjaan freelance yang tidak terlalu memakan waktu, sehingga komitmennya sebagai ibu rumah tangga tetap terjaga.
2. Bergantung pada penghasilan suami
Apabila pasangan suami istri sama-sama bekerja, biaya hidup keluarga tentu jadi lebih ringan. Namun, ketika sang istri meninggalkan pekerjaannya dan menjalani peran penuh sebagai ibu rumah tangga, maka otomatis kebutuhan finansial harus digantungkan pada satu orang. Gaya hidup tak bisa sama lagi, dan sang istri pun dituntut untuk lebih hati-hati dalam mengatur anggaran, terlebih jika sudah memiliki anak.
Meski demikian, para suami dengan istri yang tidak bekerja belum tentu kesulitan menghidupi keluarganya. Kalau mau, keluarga mereka bahkan bisa tetap menikmati kemewahan seandainya sang suami memiliki penghasilan yang sangat tinggi, seperti para karyawan yang bekerja di perusahaan-perusahaan di sini.
3. Siap menghadapi tekanan sosial
Hidup di lingkungan dengan budaya patriarki membuat para wanita yang sedang asyik berkarier sering merasa tidak nyaman. Pasalnya, sanak saudara dan teman-teman seakan tak pernah bosan melayangkan pertanyaan “Kapan kawin?” Ironisnya, tekanan tersebut ternyata tidak berhenti sampai di situ. Ketika sudah menikah pun para wanita ini harus menghadapi beragam ekspektasi dari orang-orang sekelilingnya.
Seorang wanita yang melepas kariernya demi mengabdi untuk keluarga terkadang mengalami krisis kepercayaan diri. Oleh mantan rekan kerja atau teman-teman semasa sekolah dan kuliah dulu, keputusannya untuk fokus menjadi ibu rumah tangga sering dipertanyakan. Belum lagi adanya ekspektasi dari keluarga atau mertua terhadap sosok ibu rumah tangga yang ideal, sehingga semakin menambah sumber tekanan di rumah.
Bagi Anda yang sedang bersiap menghadapi fase ini, ketahuilah bahwa berhenti bekerja belum tentu berarti Anda akan jadi ibu rumah tangga selamanya. Setelah lama vakum dari pekerjaan, bisa jadi keinginan untuk berkarier lagi sewaktu-waktu muncul—terutama setelah anak sudah cukup besar dan siap untuk ditinggal. Apalagi kesempatan kerjanya juga sebenarnya tersedia di luar sana. Akan tetapi, ada beberapa hal penting yang wajib Anda ketahui, yang di antaranya dapat Anda simak di sini.