Dilema Karier: Generalis Vs Spesialis

Oleh: Haryo Utomo Suryosumarto


 Artikel ini juga dapat dibaca di  beritagar-logo.

Kira-kira manakah yang lebih menguntungkan, menjadi seorang profesional dengan kompetensi yang bersifat generalis (berorientasi pada specific job area) atau menjadi profesional dengan kompetensi yang bersifat spesialis (berorientasi pada specific job task)?

Sebetulnya, paradigma spesialis vs generalis ini bermula dari kebutuhan perusahaan yang ingin melakukan efisiensi. Banyak pemilik perusahaan yang berupaya menekan overhead cost, tapi tetap ingin mengoptimalkan keuntungan. Karena itulah mereka mencari karyawan yang memiliki kemampuan multi-tasking dan bisa diberi tanggung jawab untuk mengerjakan pekerjaan di luar job description-nya.

Para pemilik perusahaan berpikir, kenapa harus mempekerjakan 20 orang jika dengan sepuluh orang pun semua pekerjaan bisa ditangani dengan baik?

Pemikiran tersebut cukup relevan ketika perusahaan masih dalam tahap merintis (startup) atau masih berskala kecil, di mana pengelolaannya belum terlalu rumit. Namun, ketika skala bisnis sudah semakin besar, pengelolaannya tak bisa lagi menggunakan cara lama. Nah, pada fase inilah tenaga-tenaga spesialis sangat dibutuhkan oleh perusahaan.

Berkaca pada pengalaman saya sebagai headhunter yang telah melakukan rekrutmen karyawan untuk berbagai posisi di perusahaan-perusahaan lokal maupun multinasional, tren yang kini terjadi dan banyak diterapkan di Indonesia adalah, kebanyakan perusahaan merekrut kandidat yang merupakan spesialis di suatu bidang saja.

Ini contoh pengalaman saya. Beberapa tahun yang lalu saya diminta untuk melakukan rekrutmen kandidat untuk posisi staf senior bidang SDM di perusahaan klien. Saat itu saya hanya perlu melihat dua hal, yaitu relevansi pengalaman kandidat di industri yang sama, serta berapa tahun pengalaman yang dimilikinya di bidang SDM. Namun, sekarang tidak begitu lagi.

Apabila saya dan klien berbicara mengenai rekrutmen staf senior bidang SDM, klien saya pasti akan memberikan penekanan bahwa mereka mencari seorang spesialis pada satu bidang tertentu, seperti compensation & benefits, industrial relations, recruitment, atau learning & development. Begitu pula dengan rekrutmen bidang lainnya. Sangat penting bagi seorang profesional dengan latar belakang pendidikan ilmu hukum, misalnya, untuk memiliki spesialisasi pada satu bidang tertentu—entah itu bidang litigasi perdata, hak atas kekayaan intelektual, hukum bisnis, atau hukum perburuhan.

Dari sisi kandidat, memiliki spesialisasi akan memberikan keuntungan yang lebih banyak dibandingkan menjadi seorang generalis:

  1. Seorang spesialis lebih menarik di mata pihak yang melakukan rekrutmen

Ini sesuatu yang tidak bisa dipungkiri. Ketika saya menyortir puluhan bahkan ratusan lamaran yang masuk setiap harinya, saya akan lebih senang membuat short list kandidat yang memiliki karier konsisten di satu bidang yang relevan dengan posisi yang sedang saya tangani, dibandingkan kandidat yang tidak jelas fokus kariernya.

  1. Seorang spesialis lebih mudah menciptakan personal branding

Personal branding merupakan faktor yang membedakan satu kandidat dengan kandidat lainnya. Dengan semakin ketatnya persaingan di pasar kerja, personal branding menjadi salah satu cara terbaik untuk membuat kualitas dan kompetensi seorang profesional terlihat lebih menonjol.

  1. Seorang spesialis lebih mudah mencapai prestasi kerja optimal bila dia mengerjakan sesuatu yang merupakan minatnya

Bisakah Anda bayangkan berjam-jam menatap layar komputer untuk membaca cover letter dan CV? Bagi sebagian orang, salah satu aspek pekerjaan saya sebagai headhunter mungkin sangat membosankan dan monoton. Apa nikmatnya membaca ratusan CV yang masuk setiap hari? Namun, karena membaca dan menganalisa CV merupakan salah satu minat saya, maka saya menganggap pekerjaan saya sebagai rutinitas yang menyenangkan.

  1. Seorang spesialis berpotensi memiliki posisi tawar yang lebih kuat dalam melakukan negosiasi gaji

Terutama jika spesialisasinya di bidang yang sangat spesifik dan cukup sulit dicari di pasar tenaga kerja—bukan tak mungkin seorang kandidat mendapatkan tawaran gaji dari perusahaan lain yang mencapai lebih dari 50% dibandingkan gaji yang dia terima saat ini.

Terlepas dari empat keuntungan di atas, bukan berarti menjadi seorang generalis hanya memiliki nilai minus saja. Namun ada hal yang perlu Anda ingat, jika saat ini Anda adalah seorang generalis, tidak ada salahnya mulai menelusuri kembali minat dan bakat untuk menentukan spesialisasi Anda. Jika menjadi karyawan spesialis ternyata kurang menghasilkan, paling tidak Anda bisa mempertimbangkan untuk berwirausaha dengan menjual jasa yang menjadi spesialisasi Anda.

Saya sendiri yakin bahwa Anda hanya bisa sukses bila Anda menekuni bidang yang betul-betul Anda minati. Jika Anda berencana untuk berwirausaha sekalipun, ketika Anda menjadi spesialis di bidang tersebut, setidaknya Anda sudah punya modal awal untuk menentukan bidang usaha yang akan Anda tekuni di kemudian hari.

Semoga sukses dengan spesialisasi yang Anda pilih!


Haryo Utomo Suryosumarto merupakan Founder & Managing Director PT Headhunter Indonesia, perusahaan executive search yang mulai berdiri sejak Mei 2009. Lulusan S-1 di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada dan S-2 di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia ini menggabungkan pengetahuan praktis dan pengalaman profesionalnya di dunia HR selama lebih dari 16 tahun terakhir, untuk memberikan pencerahan berupa tips pengembangan karier melalui berbagai artikel serta workshop/seminar di kampus ataupun lingkungan korporasi.

Comments

comments