Pada pertengahan Oktober 2016, Ken Dean Lawadinata, salah satu petinggi Kaskus yang juga mantan CEO komunitas terbesar di Indonesia itu, resmi mengundurkan diri. Bersamaan dengan pengunduran dirinya itu, Ken juga mengaku melepas seluruh sahamnya di Kaskus. Lepas dari Kaskus, Ken mengatakan bahwa ia berencana untuk tak lagi berinvestasi di sektor digital.
Dikutip dari Techinasia, ini pernyataan Ken terkait keputusannya itu:
“Menurut saya, saat ini bisnis IT di Indonesia tengah berada dalam semacam bubble, karena semua orang membuat valuasi yang konyol tanpa tanda-tanda keuntungan dalam waktu dekat. Karena itu, saya ingin membuat variasi dengan uang yang saya miliki saat ini, pada bidang lain seperti pertambangan dan komoditas menarik lainnya.”
Tak lama setelah berita mengenai pengunduran diri Ken dari Kaskus, ada lagi berita yang cukup mengejutkan dari ranah industri digital. Menyusul Ken, co-founder Go-Jek, Michaelangelo Moran, juga mengumumkan mengundurkan diri dari startup yang dirintisnya bersama Nadiem Makarim.
Hal ini tentu membuat banyak orang, terutama yang bergerak di industri digital, bertanya-tanya. Ada apa dengan industri tersebut? Berikut Jobplanet paparkan beberapa fakta mengenai industri digital di Indonesia:
- Perkembangan industri digital melesat tinggi seiring dengan semakin banyaknya startup (perusahaan rintisan) di Indonesia
Dulu, bisa dikatakan istilah startup masih terdengar asing di telinga masyarakat Indonesia. Beberapa tahun belakangan, perusahaan startup semakin merajalela. Bahkan, hingga kini diperkirakan sudah terdapat lebih dari 1.500 startup lokal yang terdaftar di Indonesia. Meski tak melulu berbasis digital, kata “startup” sering kali ditujukan bagi perusahaan-perusahaan rintisan yang berbasis teknologi dan digital. Karena kebanyakan startup ini beroperasi di bidang teknologi, tak ayal industri digital pun ikut berkembang seiring pertumbuhan startup.
- Industri digital membuka banyak lapangan kerja di Indonesia
Tidak bisa dipungkiri, perkembangan teknologi dan tumbuhnya industri digital memberi angin segar bagi para pencari kerja. Banyak jenis pekerjaan baru yang kini sudah tidak terdengar asing lagi di telinga masyarakat. Beragam lowongan untuk tenaga kerja TI atau digital pun kini bisa Anda temukan dengan mudah. Sayangnya, jumlah tenaga kerja TI yang berkualitas dinilai belum mencukupi kebutuhan industri.
- Bisnis digital membutuhkan modal yang tinggi
Mungkin banyak yang tidak setuju dengan pernyataan ini. Dulu, industri digital dianggap sebagai industri yang tidak membutuhkan banyak modal, namun bisa mendatangkan banyak laba. Faktanya, hal ini sudah tidak berlaku lagi.
Untuk dapat bertahan di industri digital, perusahaan membutuhkan modal yang cukup banyak. Mulai dari perencanaan, perkembangan, sampai dengan eksekusi. Oleh karena itu, banyak startup digital harus mencari investor untuk membiayai kebutuhan operasional bisnisnya sebelum perusahaan mampu menghasilkan uang sendiri. Karena itulah, banyak startup yang akhirnya terpaksa tutup lantaran kehabisan dana sebelum mampu menemukan model bisnis yang tepat untuk bersaing dalam industri.
- Tingkat persaingan antarperusahaan digital sangat ketat
Siapa yang tidak tahu persaingan yang terjadi antara Go-Jek, Grab-Bike, dan Uber? Belum lagi ditambah dengan startup sejenis yang lebih kecil seperti Blu-Jek atau Lady-Jek. Persaingan ini pun sudah memakan korban. Jangan lupa, Foodpanda baru saja ditutup karena tidak mampu bersaing dengan jasa Go-Food dan Grab-Food.
Perusahaan e-commerce juga memiliki kontribusi besar terhadap industri digital. Persaingan dalam meraih pasar dan kepercayaan konsumen demikian ketat, sehingga hanya pemain yang benar-benar kuatlah yang akan dan mampu bertahan.
Bagaimana pendapat Anda? Apakah sebagai pekerja Anda masih akan melirik industri digital? Jika ya, apa alasannya? Ungkapkan pendapat Anda di kolom komentar, ya! 🙂