5 Pola Pikir Lama Atasan yang Harus Ditinggalkan

Pola Pikir Lama Atasan yang Harus Ditinggalkan

 Artikel ini juga dapat dibaca di  beritagar-logo.

Sosok pemimpin yang ideal di mata setiap karyawan mungkin berbeda-beda. Tak terkecuali bagi generasi milenial, yang punya kriteria khusus dalam menentukan tipe pemimpin yang disukainya. Akan tetapi, satu hal yang pasti, pemimpin seyogianya layak menjadi panutan. Hanya karena di era startup (perusahaan rintisan) seperti sekarang ini “bos muda” kerap menerima predikat sebagai bos idaman, tidak berarti secara mutlak merekalah sosok pemimpin yang wajib dimiliki setiap perusahaan.

Berapapun usia seorang atasan, serta di industri manapun ia bekerja, jika ia masih berpegang teguh pada pola pikir lama yang sewenang-wenang, jangan harap karyawan akan menaruh respek kepadanya. Alih-alih memotivasi, sikap autokrat justru bisa menjatuhkan semangat karyawan. Nah, berikut ini lima pola pikir seorang atasan yang sudah saatnya ditinggalkan:

1. Bawahan selalu salah, atasan selalu benar.

Tipe atasan dengan pola pikir seperti ini biasanya cenderung defensif apabila ada seseorang yang memiliki pendapat berseberangan dengannya. Sekalipun tahu bahwa bawahannya benar, ia enggan mengakui secara terang-terangan. Hal ini jelas salah dan perlu diperbaiki. Apakah pantas jika seorang pemimpin rela mengorbankan perusahaan demi gengsi?

 2. Tugas atasan hanyalah memberi perintah.

Sebuah perusahaan berada dalam masalah jika memiliki pemimpin yang apatis. Selain memerintah bawahan, ia tidak mau tahu dengan hal lain yang sebenarnya tak kalah krusial, seperti kenyamanan karyawan, kesehatan karyawan, dan sebagainya. Baginya, apapun yang terjadi, semua harus berjalan seperti yang ia inginkan. Ia pun tak peduli meski karyawannya kehilangan kehidupan yang layak di luar kantor.

 3. Atasan dan bawahan tidak bisa berteman.

Anggapan bahwa atasan dan bawahan tidak bisa berteman kurang relevan lagi di masa sekarang. Pasalnya, dunia kerja kini didominasi oleh generasi milenial yang menginginkan sosok atasan yang tak hanya berwibawa, tapi juga bersedia merangkul bawahannya. Tanpa adanya jurang pemisah ini, karyawan jadi lebih terpacu untuk berkontribusi. Meski demikian, tentu saja mereka tetap harus tahu batasan.

4. Perusahaan berhasil berkat hasil jerih payah atasan.

Tak ada yang bisa menyangkal bahwa keberadaan pemimpin berarti besar bagi perusahaan. Namun, tanpa peran serta bawahannya, segala pencapaian perusahaan akan mustahil terwujud. Keberhasilan perusahaan adalah keberhasilan bersama. Jadi, tidak etis rasanya jika hanya satu orang yang mengambil pujian atas hasil jerih payah seluruh anggota tim.

5. Aturan perusahaan tidak berlaku untuk atasan.

Karena merasa penting dan punya kedudukan tinggi, ada kalanya seorang atasan berbuat seenaknya. Terhadap bawahan yang melanggar aturan perusahaan mereka bisa sangat keras, sementara mereka sendiri kerap menyepelekannya. Misalnya, perihal seragam kantor atau aturan jam kerja. Kalau sudah begini, bagaimana karyawan bisa menghargainya?

Sekeras apapun usaha seorang pemimpin untuk bersikap idealis, ia tak akan bisa menghindar dari perubahan-perubahan di lingkungan kerja. Bertahan pada pola pikir “kuno” bisa merugikan perusahaan yang dia pimpin. Sementara para bawahan yang sudah semakin pintar dan menyadari gaya kepemimpinan seperti apa yang patut dipertahankan—apa lagi dengan adanya situs Jobplanet—bisa lebih selektif dalam memilih tempat kerja.

Nah, kalau Anda seorang pemimpin, coba tanyakan pada diri sendiri, sudahkah Anda menerapkan gaya kepimimpinan yang tepat?

Comments

comments